Rabu, 24 Desember 2014

Never Reach You (Cerpen)

Cerpen lama bergenre romance dan dibumbui sedikit slice of life :D mohon saran dan kritiknyaa hhe karena penggunaan bahasa saya belum cukup bagus dan tertata :D

-NEVER REACH YOU-
I'll do everything for you, even when i don't get anything from it. -Riena-
Oleh : AquamarineVi



“Rie!!” Teriak Vender dari kejauhan. Wajahnya menyeringai lebar dengan tangannya yang membawa sebuah tas kertas yang entah-isinya-apa. Matahari sedang tak ingin menahan sinarnya terhadap kami di waktu istirahat siang ini, hampir saja membakar kulitku ketika awan putih kelabu menari di hadapannya.
“Hh.. i.. ini!” Diantara helaan nafasnya, ia memberiku tas tersebut dan memberi isyarat untuk membukanya. Mukanya sedikit memerah karena capai, namun ia tetap tersenyum puas.
“Kau tak perlu berlari untuk ini, Ven.. apa ini?” Tanyaku. Tanpa dapat disangkal, aku tersenyum senang. Tanganku pun membuka tas berwarna coklat bercorak bunga tersebut dan mendapati dua buah bingkai foto dengan foto yang sama pada keduanya, yakni foto kami berdua pada saat melakukan wisata sekolah ke sebuah danau di selatan kota.
“Ehehe.. aku mengambilnya tadi dengan izin untuk mencetak tugas, syukurlah penjaga sekolah membolehkannya.” Ujarnya saat ia meneguk minuman yang ia taruh di sebelahku sebelum pergi mengambil foto. Wajahnya sudah tak terlalu memerah saat beberapa anak lelaki mengajaknya bermain bola yang lalu ia tolak.
“Dasar, kau ini.. ” Ucapku, tertawa. Kini dua buah bingkai tersebut telah berada di tanganku, satu berwarna aqua yang merupakan favoritku dan yang lainnya berwarna merah, favorit Vender.
“... Yang aqua ini untukku?” Tanyaku sembari mengusap permukaan kacanya, tepat di atas langit biru yang melatari danau berwarna hijau ganggang yang bersinar di bawah terpaan sinar matahari.
“Tidaak, kau ambil yang merah, ya? Aku yang aqua. Kurasa kau tahu kenapa.” Jawabnya sembari tersenyum di samping foto, menghadap ke arah wajahku. Memerahkah mukaku?
“Ah, ya. Kurasa aku mengerti maksudmu.” Ucapku, mengambil yang berwarna merah dan memberikan yang aqua kepadanya.
Empat tahun sudah kami saling mengenal dan satu tahun dibutuhkan untuk kami menjadi sahabat. Aku pindah ke SD yang ia tempati pada kelas lima karena orang tua yang dinas, dan tak ada yang ingin mendekatiku kecuali dirinya. Wajarkah? Wajar saja. Bagi mereka, aku bukanlah seseorang yang pantas untuk berada di sana, karena kulitku yang sangat putih bagai mayat dan mataku yang agak kemerahan. Rambutku, seputih kapur dengan semburat warna emas di bagian ujungnya. Aku dijuluki ‘si hantu’ pada saat itu.
“Apa yang salah dengan dirimu? Tidak ada, kau sepenuhnya normal.” Ucapnya dengan nada jangan-pedulikan-yang-lain.
“Tapi, kau tahu...”
“Apa? Kulitmu? Rambutmu? Matamu? Kau tetap manusia, seperti yang lain, Rie. Kau pintar, selalu mengalahkan yang lainnya di kelas, bahkan di angkatan. Dan pikiranmu normal kan? Kau tak gila? Selama kau masih seperti ini, kau masih yang paling spesial untukku, Rie. Setidaknya karena kau selalu ada untukku.” Jawabnya panjang, dan diakhiri dengan senyuman yang menenangkan.
Tanpa tersadar, memori kelas tujuh tersebut melewati pikiranku dan aku tak dapat menahan diri untuk tersenyum. Aku masih sangat mengingatnya ketika ia memaksakan diri untuk belajar mati-matian demi masuk ke dalam SMP yang sangat sulit untuk dimasuki ini. Dan aku sangat bersyukur saat aku tahu bahwa ia lolos, karena benar saja, ia selalu membelaku disaat aku didiskriminasikan.
“ie... Rie??” Ujar Vender dengan agak panik dan melambaikan tangannya di hadapan wajahku. Sepertinya bel baru saja berbunyi karena terlihat arus para murid sedang menuju ke dalam gedung sekolah sekarang.
“Ah.. um.. ya? Ada apa?” Tanggapku spontan yang baru terbangun dari lamunan.
“Hhh.. syukurlah.. kau ini ada apa, tersenyum sendiri sampai tak sadar begitu.”
“Ahahah, bukan apa-apa. Ayo, ke kelas.” Ucapku, dan kami pun melangkahkan kaki menuju kelas kami, kelas VIII-A. Beberapa anak menjauhiku saat aku berjalan, dan sedikit menaruh tatapan bingung pada Vender, namun ia malah menggandeng tanganku dan berjalan seakan tak ada siapapun yang melihat. .... Kau terlalu berlebihan, Ven.. kau sangat populer di sekolah ini... untuk menggandeng seseorang sepertiku...
“Hei, Rie.” Panggilnya saat kami berjalan menuju kelas yang berada di lantai tiga, cukup jauh untuk melakukan percakapan.
“......Hm? ada apa?” Jawabku, masih menunduk karena kejadian tadi. Ia menggenggam tanganku semakin erat.
“Kau.. tak usah pedulikan mereka, ya?” Ucapnya sembari menghentikan langkahnya tepat sebelum kami menaiki tangga menuju lantai tiga. Mata cokelat gelapnya menatap tepat ke arahku, membuat mata cokelat-merah cerahku menggelap karena tertutup oleh bayangannya.
“B.. bagaimana bisa, Ven. Kau tahu kalau kau ini po—“ Belum sempat menyelesaikan kalimatku, ia memegang erat bahuku, membuat kepalaku mau tak mau menatap lurus kembali. Aku sedikit takut.
“Kau tahu kau ini populer sedangkan aku hanyalah seorang albino yang akan menjadi penghalangmu?” Ujarnya, melanjutkan kalimatku persis seperti apa yang akan aku katakan. “Rie.. kau pikir kita baru mengenal berapa lama? Tak usah pedulikan itu semua, Rie. Aku tak meminta popularitas. Kau pikir usahaku untuk masuk ke SMP ini bukanlah untukmu?” Lanjutnya, mencoba meyakinkanku. Aku tetap tak yakin untuk tidak mempedulikan mereka, namun seluruh kata-katanya membuatku tersadar bahwa aku masih memiliki dirinya.

Untuk saat ini, setidaknya.

“Vender, mau makan bersama?” Ujar sekelompok anak perempuan yang tengah membawa kotak makan mereka di antara pintu dan koridor.
“Ahahah, maaf, tapi aku tak akan makan di tempat kalian.” Jawabnya, dengan senyum yang hampir sempurna. Mereka yang mengajak terlihat kecewa, namun mereka tetap tersenyum, mungkin mencoba menarik perhatiannya dan beranjak pergi.
“Ahahah, kenapa kau tak makan bersama mereka saja?” Ucapku, tertawa. Mereka selalu mengajak Ven untuk makan siang setiap harinya. Sekalipun terlihat menjawab dengan jawaban yang sempurna, ia selalu memasang muka lelah terhadap mereka di hadapanku.
“Rie.. sudahlah..” Jawabnya, merasa lelah. Namun pada akhirnya ia tersenyum juga. Rona merah kembali muncul di wajahku, akupun segera mengambil kotak makan dari dalam tasku agar wajahku tak terlihat.
“Ayo, ke ’Rooftop’” Ucap Vender sambil berdiri  dari kursinya. Belum sepenuhnya berdiri, ia segera kembali duduk dan menaruh kotaknya di atas mejaku.
“Umm.. bisakah kali ini kita makan di sini saja?” Tanyanya, matanya seperti teralih pada seseorang namun ia segera memalingkannya dan tiba-tiba fokus pada kotak makanannya.
Aku masih bisa melihatnya.
Aku bisa melihat matanya menuju ke arah siapa.
Serta merta, tubuhku terasa dingin sepenuhnya. Hatiku tersentak, menyebabkan rasa hangat mulai menggerogoti perasaanku, berubah menjadi  rasa panas, yang entah apabila itu merupakan rasa sakit ataupun tidak karena sepenuhnya aku tak bisa, tak mau merasakannya. Hal itu tak berlangsung lama, karena aku sadar aku bukanlah siapa-siapa.
Untuknya.
“Ahahah, baiklah, jika kau memaksa.” Jawabku, tertawa dan segera membuka kotak makanku. Ia pun terlihat bersyukur, dan segera memakan bekalnya dengan agak terburu-buru. Sedang menyembunyikan kegugupannya, mungkin?
Angin berhembus mengetuk jendela kelas kami, hendak menembus lapisan bening tebal dengan rasa putus asa. Langit sedang tak memusuhi. Cerah, namun tak menerbitkan sang suryanya. Sedang berbaik hatikah, atau sedang menertawai? Kelabu hati serta merta semakin menggelap, tertutup oleh kurva senyum merekah. Sudahlah, tak ada gunanya berharap. Semuanya telah selesai bagai kicauan burung tertangkap.
“Hei, Ven.” Ucapku di sela suap makanan yang baru saja kuhabiskan. Wajahku berubah membentuk senyum seakan tahu segalanya. Untuk menggodanya, sejujurnya.
“Hm?” Tanggapnya, mulutnya masih dipenuhi dengan makanannya.
“Kau menyukai dirinya, kan?” Aku segera tahu bahwa itu benar karena ia serta merta membeku dan menelan makanannya secepat mungkin. Ekspresinya kentara sekali sedang mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Hee? Apa maksudmu? Menyukai siapa? Apa aku menyukai seseorang?” Jawabnya, matanya mengarah ke kanan atas. Sebenarnya, mata orang berbohong dapat melihat ke mana saja sehingga aku tak begitu mempedulikan matanya. Ia sangat tak bisa berbohong, sehingga kapanpun ia berbohong bahkan orang awam pun dapat mengetahuinya.
“Ahahah, benar kan? Kau menyukai Myra? Untuk itu kau ingin makan di sini, agar bisa bersamanya kan?” Ujarku, senyumanku kini perlahan berubah menjadi cengiran lebar seakan ya-aku-tahu-itu-pasti-benar. Ekspresinya berusaha mempertahankan bahwa ia tak tahu apa-apa tentang itu, tetapi bahasa tubuhnya tetap menjelaskan segalanya.
“K... Kau tahu darimana yang seperti itu? A.. aku tak pernah menyebutkan apa-apa soal Myra.” Sanggahnya, sedikit canggung dan merendahkan suaranya saat menyebutkan namanya. Orang yang kami maksud berada di jarak empat kursi dari kami, cukup jauh untuk mendengar seluruh percakapan kami.
“Oh, ayolah Ven, aku yakin kau sudah mengenalku dengan sangat lama dan kau pun pasti sudah tahu bahwa aku selalu memiliki insting yang kuat untuk menebak sesuatu. Lagipula, kalian cocok kok. Aku yakin bahwa Myra pun diam-diam menyukaimu.” Senyumanku terus bertahan, sampai akhirnya Ven memberikan isyarat bahwa ia mengalah.
“..... Hhh.. itulah yang kau dapatkan dari Riena. Baiklah, baiklah, kurasa sudah saatnya aku memberitahumu semuanya. Tapi, tidak di sini. Sampai jumpa pulang sekolah!” Segera, ia membereskan kotak makanannya dan berjalan ke koridor, berhenti sesaat untuk melirik Myra, seorang anak berambut cokelat bergelombang yang sangat panjang dilengkapi dengan mata hijaunya, menjadikannya cantik tak terkira. Lalu aku, dan berjalan kembali.
Eh?
Jadi apa yang kukatakan tadi benar?
Semua itu.. benar adanya?
Ahahah. Seharusnya aku memang sudah tahu itu.
Senyumku yang sejak tadi terpancar, kini memudar. Rasa dingin membekukan kembali menghampiri diriku, dan ketika rasa hangat itu datang ingin menggantikan, aku tak tahu apakah sebaiknya aku membiarkannya atau mempertahankan rasa dingin ini. Seluruh tubuhku kaku, tanganku tak mampu untuk memasukkan makanan kembali ke mulutku sehingga dengan perlahan aku membereskan kotak makanku.
Anggota tubuhku tak mau mendengarkan perintah. Perlahan, mereka bergetar dan mau tak mau aku memaksanya untuk berhenti. Penglihatan yang dihasilkan melalui mata cokelat kemerahanku mulai memudar, tertutup oleh genangan air mata yang kini memenuhinya.
Tidak. Aku tidak bisa menangis. Tidak di sini, setidaknya. Segera kutampar pipiku beberapa kali hingga air mataku tak meneruskan dirinya untuk keluar saat ini. Ia bukan siapa-siapa, kan? Ia hanya sahabatku, dan ia juga punya hak untuk... menyukai seseorang, kan? Ia bukan milikku sepenuhnya, kan? Aku hanya seorang albino yang menjadi penghalang, kan?
A..Aku... Aku bukan siapa-siapa, kan?
Perlahan, aku melirik Myra. Sosok yang pendiam nan sangat ramah, berkali-kali ditembak namun ia tak pernah menerimanya. Dan berkali-kali pula, aku melihatnya melirik ke arah Ven pada saat pelajaran. Kalau itu Ven, mungkinkah dia akan menerimanya?
Semakin kuperhatikan, semakin kurasakan kecocokan yang akan tejalin diantara mereka. Ah, tidak, tidak. Rasa panas itu, jangan datang lagi. Aku segera memalingkan wajahku dari dirinya, membenamkan kepalaku ke dalam tangan yang disilangkan di atas meja hingga bel masuk berbunyi.
“Rie!” Panggil Ven ketika aku akan keluar dari gerbang sekolah. Oh, aku melupakan janjiku dengannya. Akankah aku mengetahui segalanya sekarang?
Aku menunggu selama beberapa saat hingga Ven sampai.
“Nah, Ayo.” Ucapnya segera setelah sampai. Dengan gestur yang agak berantakan, ia pun berjalan dengan cepat menuju arah rumah kami yang terpisah oleh pertigaan satu kilometer ke depan. Aku pun mengikutinya, mensejajarkan langkahku ketika jalanan sudah mulai sepi.
“Jadi.. kau mau mulai?” Tanyaku sembari memancarkan senyum penuh kemenangan.
“Huft.. ya, ya, baiklah. Itu... sudah sejak semester lalu.” Akunya.
“Hee serius kah? Kenapa kau tak bilang kepadaku?”
“Kau sendiri tahu akan sangat sulit mengungkapkan sesuatu yang bersifat pribadi, kan..” Kini jalannya melambat dan ia lebih tenang.
[Apakah ia tidak percaya padaku?]
“Ya, kurasa begitu.. Tapi kalian sangat cocok kok! Aku yakin kalian akan lebih bahagia kalau jadian, hohoho.”
“... Aku payah dalam hal itu.”
“Kau bercanda? Kau tahu siapa yang bisa dimintai tolong, kan?” Senyumku melebar dan ia melirik ke arahku, lalu akhirnya menyerah dan mengangguk. Kini aku tahu bahwa ia sangat menyukainya.
Sisa perjalanan kami pakai untuk membantunya menyusun rencana.
“Aku pulang.” Melangkah melewati dapur tempat ibuku berada, aku pun melenggang menuju lantai atas, hendak menuju ke kamarku ketika ibuku memanggil dari bawah.
“Selamat datang, ada apa Rie?” Tanyanya. Instingnya sangat kuat, melebihi diriku.
Aku pun melihatnya dari atas tangga, “Ah, tidak bu, tidak apa-apa.” Jawabku, tersenyum. Aku tahu ini tak akan berhasil mengelabui ibuku tetapi ya.. sudahlah, coba saja.
“Hhh kau ini, tak pernah berubah. Yasudah, ganti bajumu dan kita akan makan malam dengan adik dan ayahmu.” Ia pun melanjutkan pekerjaannya sembari bersenandung kecil.
Aku segera menghampiri pintu kamarku yang berada di sebelah kanan dari tangga, pintu sederhana dengan sedikit border bunga di bagian ujung kiri bawah dan ujung kanan atasnya, berwarna aqua, dengan gagang pintu emas berkode yang hanya keluargaku dan beberapa orang lainnya yang tahu kodenya. Seluruh pintu rumahku memiliki kode yang berbeda di setiap pintunya. Aku pun memasukkan kode dengan cara menekan angka yang tertera pada bagian atas pegangan pintu yang terhubung langsung dengan mekanisme di dalam pintu, mungkin kau tak akan terlalu mengerti jika dijabarkan seperti ini. 29615. Jika kau tanya kenapa, aku berulang tahun pada 29 Juni dan.... dan Vender pada 1 Mei. Mungkin aku akan mengganti kodenya nanti. Terdengar bunyi klik dari dalam pintu.
Membuka pintu, aku segera melemparkan dengan pelan tasku pada kursi rotan berbantal hijau yang berada di sebelah kiriku, merebahkan diri sejenak, mengganti baju dengan setelan sederhana berupa kaos lengan pendek berwarna cokelat dan celana krem, lalu beranjak ke meja belajarku. Kalau kau bilang aku akan belajar, tidak, tidak. Kau salah. hanya orang yang sangat rajin lah yang akan belajar tepat setelah pulang sekolah.
Menopangkan daguku pada lengan kananku, kuperhatikan dengan tatapan yang lemah foto berbingkai merah di sebelah kiri mejaku. Pada saat itu, tak ada yang kupikirkan selain bahagia bersama dirinya. Sejak kapankah aku mulai menyukai dirinya, kukira? Dan kini, mungkin aku telah benar-benar menyukainya.
Tetapi, aku hanya sahabatnya kan?
Seharusnya aku tahu bahwa pada akhirnya Ven akan menemukan orang yang ia sukai.
Seharusnya aku tahu bahwa hingga kapanpun aku tak akan pernah bisa menyatakannya.
Yakinkah aku bahwa semua yang kulakukan ini benar? Hmm... Mungkin? Toh pada akhirnya ia akan bersamanya juga, dan aku hanya mempercepat waktunya.
Untuk apa kau melakukan semua ini jika kau punya seseorang yang berada di dalam hatimu,Ven? Kau seharusnya melakukan semua untuknya, bukan untukku.
Air mataku perlahan mengalir dan badanku bergetar, namun aku membiarkannya mengingat tak ada orang di sini. Tanpa suara kupejamkan mata, mengingat semua yang kini telah sampai pada akhirnya. Ia tak akan selalu ada di sisiku lagi, meskipun aku yakin bahwa ia akan tetap, dan selalu menjadi sahabatku.
Eh, iyakah? Sepertinya aku baru saja yakin bahwa ia tidak percaya padaku.
Apakah semua ini sesungguhnya khayalan semata? Khayalan yang sesungguhnya tak pernah terjadi padanya, dalam artian ia tak menganggapku siapa-siapa? Mungkin saja.
Badanku memanas dan dadaku serasa sakit, namun aku tetap menangis tanpa suara. Kau bersuara kau ketahuan, bodoh. Batinku berusaha meyakinkanku bahwa semuanya tak apa, dan aku memaksa diriku untuk tersenyum di tengah tangisan.
“Habiskan dulu tangismu barulah tersenyum, kak.” Ucap adikku secara tiba-tiba membuatku tersentak dan mengusap mataku secara spontan. Sejak kapan adikku berada di sampingku?
“Revan! A—apa yang kau lakukan! K—kau tahu kau masuk ke mana, kan!” Berbicaraku tak jelas dan terbata-bata, membuat segalanya makin jelas saja.
“Ayolah kak, insting ibu tak bisa dibohongi. Ia menyuruhku memanggilmu makan malam namun tanpa suara, dan lihatlah apa yang aku temukan.” Mata biru normalnya memberikan ekspresi kau-tahu-aku-peduli-padamu. Membuatku ingin menceritakan semuanya, namun itu tak mungkin kan?
Ia pun menyentuhkan lututnya pada karpet aqua bermotif bunga dan meletakkan tangannya di punggungku, dekat ke leher, menungguku hingga aku mengeluarkan seluruh perasaanku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ikatan kami sebagai adik kakak yang saling pengertian tak akan pernah merenggang, kuharap.
Aku terbangun dengan mata yang berbinar, setelah menaruh es semalaman pada mataku yang sembab. Sejak makan malam aku tak pernah menangis lagi, sesuai saran adikku. Aku melenggang menuju kamar mandi, mandi selama 15 menit, keluar, dan melihat bahwa jam menunjukkan pukul 3.30 pagi. Hari masih sangat gelap dan akhirnya aku menghabiskan waktuku dengan memasak, mencuci piring, menyiapkan buku dan menepuk pipi adikku yang tengah tertidur. Memintanya untuk bangun, sejujurnya.
Pada pukul 5.00, kami sarapan bersama dengan semua anggota kami yang telah lengkap berpakaian sesuai perannya. Kami telah terbiasa bangun pagi sehingga semuanya telah lengkap paling lambat pada jam 5.10. waktu menunjukkan pukul 6.15 dan aku segera berpamitan untuk pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Aku tak berniat menggunakan sepeda hari ini, sama halnya dengan kemarin.
Sepanjang jalan kutatap pepohonan rindang yang tak pernah merasakan bagaimana saat hati tercekat. Bersenandung lembut burung-burung bertengger di dahannya, memberi pesan pada angin behembus. Kutarik nafas dengan perlahan, menutup mataku. Membiarkan seluruh ketenangan jalan raya sepi ini meresap ke dalam diriku. Kuyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja, kali ini tak diiringi oleh rasa sakit membara, dan membuka mata secara perlahan. Sekolah tinggal beberapa puluh langkah lagi di depanku saat Vender berlari ke arahku, menggenggam tangan Myra. Wajah keduanya berbinar, kentara sekali kecocokannya.
“Eheheh, Rie.. Terima kasih. Semuanya berjalan lancar. Myra, ini sahabatku, Riena.” Myra pun tersenyum tulus dan menunduk hormat, aku pun membalasnya. Wajah Ven terlihat sangat senang, Myra tak kalah senangnya. Manik matanya berkilau, membuat siapapun kan terpukau. Aku pun tersenyum lebar terhadap mereka.
“Wah, wah.. Syukurlah. Selamat ya! Ven, kalau kau berani menyakiti Myra aku tak akan memaafkanmu!”
“Waa.. baiklah, baiklah. Aku akan melindunginya sebaik mungkin!” Jawab Ven meyakinkan, dan wajah Myra pun memerah. Mereka pun kembali ke taman, meninggalkanku sendirian atas perintahku. Akupun berjalan dengan perlahan menuju gedung sekolah, sangat perlahan sehingga sempat melihat mereka tertawa bersama. Kupejamkan mata, menarik nafas panjang dan membuka mata bersamaan dengan saat kuhembuskan nafas dengan perlahan. Akupun tersenyum. Berkat adikku, kini aku tak perlu memaksakan diri tuk menahan tangisanku.
Karena pada akhirnya, aku tetap tidak bisa menyatakannya.
Akupun terus berjalan dan memijakkan kaki pada tangga gedung, saat sesosok bayangan dibalik pohon yang luput dari pandanganku kembali menyembunyikan dirinya. 

 Eheheh alhamdulillah selesai juga ceritanya, mohon comment jika ingin cerita menggantung ini dilanjutkan :) 

Wattpad : www.wattpad.com/user/AquamarineVi