-NEVER REACH YOU-
I'll do everything for you, even when i don't get anything from it. -Riena-
Oleh : AquamarineVi
“Rie!!” Teriak Vender dari kejauhan. Wajahnya
menyeringai lebar dengan tangannya yang membawa sebuah tas kertas yang
entah-isinya-apa. Matahari sedang tak ingin menahan sinarnya terhadap kami di
waktu istirahat siang ini, hampir saja membakar kulitku ketika awan putih kelabu
menari di hadapannya.
“Hh.. i.. ini!” Diantara helaan nafasnya, ia
memberiku tas tersebut dan memberi isyarat untuk membukanya. Mukanya sedikit
memerah karena capai, namun ia tetap tersenyum puas.
“Kau tak perlu berlari untuk ini, Ven.. apa ini?”
Tanyaku. Tanpa dapat disangkal, aku tersenyum senang. Tanganku pun membuka tas
berwarna coklat bercorak bunga tersebut dan mendapati dua buah bingkai foto
dengan foto yang sama pada keduanya, yakni foto kami berdua pada saat melakukan
wisata sekolah ke sebuah danau di selatan kota.
“Ehehe.. aku mengambilnya tadi dengan izin untuk
mencetak tugas, syukurlah penjaga sekolah membolehkannya.” Ujarnya saat ia
meneguk minuman yang ia taruh di sebelahku sebelum pergi mengambil foto.
Wajahnya sudah tak terlalu memerah saat beberapa anak lelaki mengajaknya
bermain bola yang lalu ia tolak.
“Dasar, kau ini.. ” Ucapku, tertawa. Kini dua buah
bingkai tersebut telah berada di tanganku, satu berwarna aqua yang merupakan
favoritku dan yang lainnya berwarna merah, favorit Vender.
“... Yang aqua ini untukku?” Tanyaku sembari
mengusap permukaan kacanya, tepat di atas langit biru yang melatari danau
berwarna hijau ganggang yang bersinar di bawah terpaan sinar matahari.
“Tidaak, kau ambil yang merah, ya? Aku yang aqua.
Kurasa kau tahu kenapa.” Jawabnya sembari tersenyum di samping foto, menghadap
ke arah wajahku. Memerahkah mukaku?
“Ah, ya. Kurasa aku mengerti maksudmu.” Ucapku,
mengambil yang berwarna merah dan memberikan yang aqua kepadanya.
Empat tahun sudah kami saling mengenal dan satu
tahun dibutuhkan untuk kami menjadi sahabat. Aku pindah ke SD yang ia tempati
pada kelas lima karena orang tua yang dinas, dan tak ada yang ingin mendekatiku
kecuali dirinya. Wajarkah? Wajar saja. Bagi mereka, aku bukanlah seseorang yang
pantas untuk berada di sana, karena kulitku yang sangat putih bagai mayat dan
mataku yang agak kemerahan. Rambutku, seputih kapur dengan semburat warna emas
di bagian ujungnya. Aku dijuluki ‘si hantu’ pada saat itu.
“Apa yang salah
dengan dirimu? Tidak ada, kau sepenuhnya normal.” Ucapnya dengan nada
jangan-pedulikan-yang-lain.
“Tapi, kau
tahu...”
“Apa? Kulitmu?
Rambutmu? Matamu? Kau tetap manusia, seperti yang lain, Rie. Kau pintar, selalu
mengalahkan yang lainnya di kelas, bahkan di angkatan. Dan pikiranmu normal
kan? Kau tak gila? Selama kau masih seperti ini, kau masih yang paling spesial
untukku, Rie. Setidaknya karena kau selalu ada untukku.” Jawabnya panjang, dan
diakhiri dengan senyuman yang menenangkan.
Tanpa tersadar, memori kelas tujuh tersebut melewati
pikiranku dan aku tak dapat menahan diri untuk tersenyum. Aku masih sangat
mengingatnya ketika ia memaksakan diri untuk belajar mati-matian demi masuk ke
dalam SMP yang sangat sulit untuk dimasuki ini. Dan aku sangat bersyukur saat
aku tahu bahwa ia lolos, karena benar saja, ia selalu membelaku disaat aku
didiskriminasikan.
“ie... Rie??” Ujar Vender dengan agak panik dan
melambaikan tangannya di hadapan wajahku. Sepertinya bel baru saja berbunyi
karena terlihat arus para murid sedang menuju ke dalam gedung sekolah sekarang.
“Ah.. um.. ya? Ada apa?” Tanggapku spontan yang baru
terbangun dari lamunan.
“Hhh.. syukurlah.. kau ini ada apa, tersenyum
sendiri sampai tak sadar begitu.”
“Ahahah, bukan apa-apa. Ayo, ke kelas.” Ucapku, dan
kami pun melangkahkan kaki menuju kelas kami, kelas VIII-A. Beberapa anak
menjauhiku saat aku berjalan, dan sedikit menaruh tatapan bingung pada Vender,
namun ia malah menggandeng tanganku dan berjalan seakan tak ada siapapun yang
melihat. .... Kau terlalu berlebihan, Ven.. kau sangat populer di sekolah
ini... untuk menggandeng seseorang sepertiku...
“Hei, Rie.” Panggilnya saat kami berjalan menuju
kelas yang berada di lantai tiga, cukup jauh untuk melakukan percakapan.
“......Hm? ada apa?” Jawabku, masih menunduk karena
kejadian tadi. Ia menggenggam tanganku semakin erat.
“Kau.. tak usah pedulikan mereka, ya?” Ucapnya sembari
menghentikan langkahnya tepat sebelum kami menaiki tangga menuju lantai tiga.
Mata cokelat gelapnya menatap tepat ke arahku, membuat mata cokelat-merah
cerahku menggelap karena tertutup oleh bayangannya.
“B.. bagaimana bisa, Ven. Kau tahu kalau kau ini
po—“ Belum sempat menyelesaikan kalimatku, ia memegang erat bahuku, membuat
kepalaku mau tak mau menatap lurus kembali. Aku sedikit takut.
“Kau tahu kau ini populer sedangkan aku hanyalah
seorang albino yang akan menjadi penghalangmu?” Ujarnya, melanjutkan kalimatku
persis seperti apa yang akan aku katakan. “Rie.. kau pikir kita baru mengenal
berapa lama? Tak usah pedulikan itu semua, Rie. Aku tak meminta popularitas.
Kau pikir usahaku untuk masuk ke SMP ini bukanlah untukmu?” Lanjutnya, mencoba
meyakinkanku. Aku tetap tak yakin untuk tidak mempedulikan mereka, namun
seluruh kata-katanya membuatku tersadar bahwa aku masih memiliki dirinya.
Untuk
saat ini, setidaknya.
“Vender, mau makan bersama?” Ujar sekelompok anak
perempuan yang tengah membawa kotak makan mereka di antara pintu dan koridor.
“Ahahah, maaf, tapi aku tak akan makan di tempat
kalian.” Jawabnya, dengan senyum yang hampir sempurna. Mereka yang mengajak
terlihat kecewa, namun mereka tetap tersenyum, mungkin mencoba menarik
perhatiannya dan beranjak pergi.
“Ahahah, kenapa kau tak makan bersama mereka saja?”
Ucapku, tertawa. Mereka selalu mengajak Ven untuk makan siang setiap harinya.
Sekalipun terlihat menjawab dengan jawaban yang sempurna, ia selalu memasang
muka lelah terhadap mereka di hadapanku.
“Rie.. sudahlah..” Jawabnya, merasa lelah. Namun
pada akhirnya ia tersenyum juga. Rona merah kembali muncul di wajahku, akupun
segera mengambil kotak makan dari dalam tasku agar wajahku tak terlihat.
“Ayo, ke ’Rooftop’” Ucap Vender sambil berdiri dari kursinya. Belum sepenuhnya berdiri, ia
segera kembali duduk dan menaruh kotaknya di atas mejaku.
“Umm.. bisakah kali ini kita makan di sini saja?”
Tanyanya, matanya seperti teralih pada seseorang namun ia segera memalingkannya
dan tiba-tiba fokus pada kotak makanannya.
Aku masih bisa
melihatnya.
Aku bisa melihat
matanya menuju ke arah siapa.
Serta merta, tubuhku terasa dingin sepenuhnya. Hatiku
tersentak, menyebabkan rasa hangat mulai menggerogoti perasaanku, berubah
menjadi rasa panas, yang entah apabila
itu merupakan rasa sakit ataupun tidak karena sepenuhnya aku tak bisa, tak mau
merasakannya. Hal itu tak berlangsung lama, karena aku sadar aku bukanlah
siapa-siapa.
Untuknya.
“Ahahah, baiklah, jika kau memaksa.” Jawabku,
tertawa dan segera membuka kotak makanku. Ia pun terlihat bersyukur, dan segera
memakan bekalnya dengan agak terburu-buru. Sedang menyembunyikan kegugupannya,
mungkin?
Angin berhembus
mengetuk jendela kelas kami, hendak menembus lapisan bening tebal dengan rasa
putus asa. Langit sedang tak memusuhi. Cerah, namun tak menerbitkan sang
suryanya. Sedang berbaik hatikah, atau sedang menertawai? Kelabu hati serta
merta semakin menggelap, tertutup oleh kurva senyum merekah. Sudahlah, tak ada
gunanya berharap. Semuanya telah selesai bagai kicauan burung tertangkap.
“Hei, Ven.”
Ucapku di sela suap makanan yang baru saja kuhabiskan. Wajahku berubah
membentuk senyum seakan tahu segalanya. Untuk menggodanya, sejujurnya.
“Hm?”
Tanggapnya, mulutnya masih dipenuhi dengan makanannya.
“Kau menyukai
dirinya, kan?” Aku segera tahu bahwa itu benar karena ia serta merta membeku
dan menelan makanannya secepat mungkin. Ekspresinya kentara sekali sedang
mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Hee? Apa
maksudmu? Menyukai siapa? Apa aku menyukai seseorang?” Jawabnya, matanya
mengarah ke kanan atas. Sebenarnya, mata orang berbohong dapat melihat ke mana
saja sehingga aku tak begitu mempedulikan matanya. Ia sangat tak bisa
berbohong, sehingga kapanpun ia berbohong bahkan orang awam pun dapat
mengetahuinya.
“Ahahah, benar kan?
Kau menyukai Myra? Untuk itu kau ingin makan di sini, agar bisa bersamanya
kan?” Ujarku, senyumanku kini perlahan berubah menjadi cengiran lebar seakan
ya-aku-tahu-itu-pasti-benar. Ekspresinya berusaha mempertahankan bahwa ia tak
tahu apa-apa tentang itu, tetapi bahasa tubuhnya tetap menjelaskan segalanya.
“K... Kau tahu
darimana yang seperti itu? A.. aku tak pernah menyebutkan apa-apa soal Myra.”
Sanggahnya, sedikit canggung dan merendahkan suaranya saat menyebutkan namanya.
Orang yang kami maksud berada di jarak empat kursi dari kami, cukup jauh untuk
mendengar seluruh percakapan kami.
“Oh, ayolah Ven,
aku yakin kau sudah mengenalku dengan sangat lama dan kau pun pasti sudah tahu
bahwa aku selalu memiliki insting yang kuat untuk menebak sesuatu. Lagipula,
kalian cocok kok. Aku yakin bahwa Myra pun diam-diam menyukaimu.” Senyumanku
terus bertahan, sampai akhirnya Ven memberikan isyarat bahwa ia mengalah.
“..... Hhh..
itulah yang kau dapatkan dari Riena. Baiklah, baiklah, kurasa sudah saatnya aku
memberitahumu semuanya. Tapi, tidak di sini. Sampai jumpa pulang sekolah!” Segera,
ia membereskan kotak makanannya dan berjalan ke koridor, berhenti sesaat untuk
melirik Myra, seorang anak berambut cokelat bergelombang yang sangat panjang
dilengkapi dengan mata hijaunya, menjadikannya cantik tak terkira. Lalu aku,
dan berjalan kembali.
Eh?
Jadi apa yang kukatakan
tadi benar?
Semua itu.. benar
adanya?
Ahahah. Seharusnya aku
memang sudah tahu itu.
Senyumku yang sejak tadi terpancar, kini memudar.
Rasa dingin membekukan kembali menghampiri diriku, dan ketika rasa hangat itu
datang ingin menggantikan, aku tak tahu apakah sebaiknya aku membiarkannya atau
mempertahankan rasa dingin ini. Seluruh tubuhku kaku, tanganku tak mampu untuk
memasukkan makanan kembali ke mulutku sehingga dengan perlahan aku membereskan
kotak makanku.
Anggota tubuhku tak mau mendengarkan perintah.
Perlahan, mereka bergetar dan mau tak mau aku memaksanya untuk berhenti. Penglihatan
yang dihasilkan melalui mata cokelat kemerahanku mulai memudar, tertutup oleh
genangan air mata yang kini memenuhinya.
Tidak. Aku tidak bisa menangis. Tidak di sini,
setidaknya. Segera kutampar pipiku beberapa kali hingga air mataku tak
meneruskan dirinya untuk keluar saat ini. Ia bukan siapa-siapa, kan? Ia hanya
sahabatku, dan ia juga punya hak untuk... menyukai seseorang, kan? Ia bukan
milikku sepenuhnya, kan? Aku hanya seorang albino yang menjadi penghalang, kan?
A..Aku... Aku bukan
siapa-siapa, kan?
Perlahan, aku melirik Myra. Sosok yang pendiam nan
sangat ramah, berkali-kali ditembak namun ia tak pernah menerimanya. Dan
berkali-kali pula, aku melihatnya melirik ke arah Ven pada saat pelajaran. Kalau
itu Ven, mungkinkah dia akan menerimanya?
Semakin kuperhatikan, semakin kurasakan kecocokan
yang akan tejalin diantara mereka. Ah, tidak, tidak. Rasa panas itu, jangan
datang lagi. Aku segera memalingkan wajahku dari dirinya, membenamkan kepalaku
ke dalam tangan yang disilangkan di atas meja hingga bel masuk berbunyi.
“Rie!” Panggil Ven ketika aku akan keluar dari
gerbang sekolah. Oh, aku melupakan janjiku dengannya. Akankah aku mengetahui
segalanya sekarang?
Aku menunggu selama beberapa saat hingga Ven sampai.
“Nah, Ayo.” Ucapnya segera setelah sampai. Dengan
gestur yang agak berantakan, ia pun berjalan dengan cepat menuju arah rumah
kami yang terpisah oleh pertigaan satu kilometer ke depan. Aku pun
mengikutinya, mensejajarkan langkahku ketika jalanan sudah mulai sepi.
“Jadi.. kau mau mulai?” Tanyaku sembari memancarkan
senyum penuh kemenangan.
“Huft.. ya, ya, baiklah. Itu... sudah sejak semester
lalu.” Akunya.
“Hee serius kah? Kenapa kau tak bilang kepadaku?”
“Kau sendiri tahu akan sangat sulit mengungkapkan
sesuatu yang bersifat pribadi, kan..” Kini jalannya melambat dan ia lebih
tenang.
[Apakah ia tidak
percaya padaku?]
“Ya, kurasa begitu.. Tapi kalian sangat cocok kok!
Aku yakin kalian akan lebih bahagia kalau jadian, hohoho.”
“... Aku payah dalam hal itu.”
“Kau bercanda? Kau tahu siapa yang bisa dimintai
tolong, kan?” Senyumku melebar dan ia melirik ke arahku, lalu akhirnya menyerah
dan mengangguk. Kini aku tahu bahwa ia sangat menyukainya.
Sisa perjalanan kami pakai untuk membantunya
menyusun rencana.
“Aku pulang.” Melangkah melewati dapur tempat ibuku
berada, aku pun melenggang menuju lantai atas, hendak menuju ke kamarku ketika
ibuku memanggil dari bawah.
“Selamat datang, ada apa Rie?” Tanyanya. Instingnya
sangat kuat, melebihi diriku.
Aku pun melihatnya dari atas tangga, “Ah, tidak bu,
tidak apa-apa.” Jawabku, tersenyum. Aku tahu ini tak akan berhasil mengelabui
ibuku tetapi ya.. sudahlah, coba saja.
“Hhh kau ini, tak pernah berubah. Yasudah, ganti
bajumu dan kita akan makan malam dengan adik dan ayahmu.” Ia pun melanjutkan
pekerjaannya sembari bersenandung kecil.
Aku segera menghampiri pintu kamarku yang berada di
sebelah kanan dari tangga, pintu sederhana dengan sedikit border bunga di
bagian ujung kiri bawah dan ujung kanan atasnya, berwarna aqua, dengan gagang
pintu emas berkode yang hanya keluargaku dan beberapa orang lainnya yang tahu
kodenya. Seluruh pintu rumahku memiliki kode yang berbeda di setiap pintunya.
Aku pun memasukkan kode dengan cara menekan angka yang tertera pada bagian atas
pegangan pintu yang terhubung langsung dengan mekanisme di dalam pintu, mungkin
kau tak akan terlalu mengerti jika dijabarkan seperti ini. 29615. Jika kau
tanya kenapa, aku berulang tahun pada 29 Juni dan.... dan Vender pada 1 Mei.
Mungkin aku akan mengganti kodenya nanti. Terdengar bunyi klik dari dalam
pintu.
Membuka pintu, aku segera melemparkan dengan pelan
tasku pada kursi rotan berbantal hijau yang berada di sebelah kiriku,
merebahkan diri sejenak, mengganti baju dengan setelan sederhana berupa kaos
lengan pendek berwarna cokelat dan celana krem, lalu beranjak ke meja
belajarku. Kalau kau bilang aku akan belajar, tidak, tidak. Kau salah. hanya
orang yang sangat rajin lah yang akan belajar tepat setelah pulang sekolah.
Menopangkan daguku pada lengan kananku, kuperhatikan
dengan tatapan yang lemah foto berbingkai merah di sebelah kiri mejaku. Pada
saat itu, tak ada yang kupikirkan selain bahagia bersama dirinya. Sejak
kapankah aku mulai menyukai dirinya, kukira? Dan kini, mungkin aku telah
benar-benar menyukainya.
Tetapi, aku hanya
sahabatnya kan?
Seharusnya aku tahu bahwa pada akhirnya Ven akan
menemukan orang yang ia sukai.
Seharusnya aku tahu bahwa hingga kapanpun aku tak
akan pernah bisa menyatakannya.
Yakinkah aku bahwa semua yang kulakukan ini benar?
Hmm... Mungkin? Toh pada akhirnya ia akan bersamanya juga, dan aku hanya
mempercepat waktunya.
Untuk apa kau melakukan semua ini jika kau punya
seseorang yang berada di dalam hatimu,Ven? Kau seharusnya melakukan semua
untuknya, bukan untukku.
Air mataku perlahan mengalir dan badanku bergetar,
namun aku membiarkannya mengingat tak ada orang di sini. Tanpa suara kupejamkan
mata, mengingat semua yang kini telah sampai pada akhirnya. Ia tak akan selalu
ada di sisiku lagi, meskipun aku yakin bahwa ia akan tetap, dan selalu menjadi
sahabatku.
Eh, iyakah? Sepertinya
aku baru saja yakin bahwa ia tidak percaya padaku.
Apakah semua ini sesungguhnya khayalan semata?
Khayalan yang sesungguhnya tak pernah terjadi padanya, dalam artian ia tak
menganggapku siapa-siapa? Mungkin saja.
Badanku memanas dan dadaku serasa sakit, namun aku tetap
menangis tanpa suara. Kau bersuara kau ketahuan, bodoh. Batinku berusaha
meyakinkanku bahwa semuanya tak apa, dan aku memaksa diriku untuk tersenyum di
tengah tangisan.
“Habiskan dulu tangismu barulah tersenyum, kak.”
Ucap adikku secara tiba-tiba membuatku tersentak dan mengusap mataku secara
spontan. Sejak kapan adikku berada di sampingku?
“Revan! A—apa yang kau lakukan! K—kau tahu kau masuk
ke mana, kan!” Berbicaraku tak jelas dan terbata-bata, membuat segalanya makin
jelas saja.
“Ayolah kak, insting ibu tak bisa dibohongi. Ia
menyuruhku memanggilmu makan malam namun tanpa suara, dan lihatlah apa yang aku
temukan.” Mata biru normalnya memberikan ekspresi kau-tahu-aku-peduli-padamu.
Membuatku ingin menceritakan semuanya, namun itu tak mungkin kan?
Ia pun menyentuhkan lututnya pada karpet aqua
bermotif bunga dan meletakkan tangannya di punggungku, dekat ke leher,
menungguku hingga aku mengeluarkan seluruh perasaanku tanpa mengatakan sepatah
kata pun. Ikatan kami sebagai adik kakak yang saling pengertian tak akan pernah
merenggang, kuharap.
Aku terbangun dengan mata yang berbinar, setelah
menaruh es semalaman pada mataku yang sembab. Sejak makan malam aku tak pernah
menangis lagi, sesuai saran adikku. Aku melenggang menuju kamar mandi, mandi
selama 15 menit, keluar, dan melihat bahwa jam menunjukkan pukul 3.30 pagi.
Hari masih sangat gelap dan akhirnya aku menghabiskan waktuku dengan memasak,
mencuci piring, menyiapkan buku dan menepuk pipi adikku yang tengah tertidur.
Memintanya untuk bangun, sejujurnya.
Pada pukul 5.00, kami sarapan bersama dengan semua
anggota kami yang telah lengkap berpakaian sesuai perannya. Kami telah terbiasa
bangun pagi sehingga semuanya telah lengkap paling lambat pada jam 5.10. waktu
menunjukkan pukul 6.15 dan aku segera berpamitan untuk pergi ke sekolah dengan
berjalan kaki. Aku tak berniat menggunakan sepeda hari ini, sama halnya dengan
kemarin.
Sepanjang jalan kutatap pepohonan rindang yang tak
pernah merasakan bagaimana saat hati tercekat. Bersenandung lembut
burung-burung bertengger di dahannya, memberi pesan pada angin behembus.
Kutarik nafas dengan perlahan, menutup mataku. Membiarkan seluruh ketenangan
jalan raya sepi ini meresap ke dalam diriku. Kuyakinkan bahwa semuanya
baik-baik saja, kali ini tak diiringi oleh rasa sakit membara, dan membuka mata
secara perlahan. Sekolah tinggal beberapa puluh langkah lagi di depanku saat
Vender berlari ke arahku, menggenggam tangan Myra. Wajah keduanya berbinar,
kentara sekali kecocokannya.
“Eheheh, Rie.. Terima kasih. Semuanya berjalan
lancar. Myra, ini sahabatku, Riena.” Myra pun tersenyum tulus dan menunduk
hormat, aku pun membalasnya. Wajah Ven terlihat sangat senang, Myra tak kalah
senangnya. Manik matanya berkilau, membuat siapapun kan terpukau. Aku pun
tersenyum lebar terhadap mereka.
“Wah, wah.. Syukurlah. Selamat ya! Ven, kalau kau
berani menyakiti Myra aku tak akan memaafkanmu!”
“Waa.. baiklah, baiklah. Aku akan melindunginya
sebaik mungkin!” Jawab Ven meyakinkan, dan wajah Myra pun memerah. Mereka pun
kembali ke taman, meninggalkanku sendirian atas perintahku. Akupun berjalan
dengan perlahan menuju gedung sekolah, sangat perlahan sehingga sempat melihat
mereka tertawa bersama. Kupejamkan mata, menarik nafas panjang dan membuka mata
bersamaan dengan saat kuhembuskan nafas dengan perlahan. Akupun tersenyum.
Berkat adikku, kini aku tak perlu memaksakan diri tuk menahan tangisanku.
Karena pada akhirnya,
aku tetap tidak bisa menyatakannya.
Akupun terus berjalan dan memijakkan kaki pada
tangga gedung, saat sesosok bayangan dibalik pohon yang luput dari pandanganku
kembali menyembunyikan dirinya.
Eheheh alhamdulillah selesai juga ceritanya, mohon comment jika ingin cerita menggantung ini dilanjutkan :)
Wattpad : www.wattpad.com/user/AquamarineVi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar